TEMPO Interaktif, Bandung - Fakta-fakta baru seputar aktivitas patahan Lembang, Jawa Barat, mulai bermunculan. Tim riset dari Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia mendapatkan bukti patahan aktif itu diperkirakan pernah mengguncang cekungan Bandung dengan kekuatan 7 skala richter.
Peneliti dari pusat penelitian geoteknologi LIPI Eko Yulianto mengatakan, patahan Lembang sepanjang 20-25 kilometer kemungkinan pernah bergerak bersamaan. Selip vertikalnya di dalam tanah patahan ada yang ditemukan sepanjang 70-80 sentimeter. "Kalau (patahan) bergerak bersamaan bisa mendekati gempa 7 skala richter," katanya di sela seminar mitigasi bencana di UPI Bandung, Selasa (11/5).
Patahan Lembang membujur dari kaki Gunung Manglayang hingga Padalarang. Bentuknya yang seperti tebing itu bisa dilihat dari kawasan Lembang. Memasuki tahun kedua ini, tim LIPI masih meneliti riwayat gempa akibat pergerakan patahan Lembang dan interval perulangannya. Caranya dengan menganalisis lapisan tanah.
Menurut Eko, tim menggali banyak lubang di patahan sekitar Cihideung, Lembang, Jawa Barat. Sejauh ini dari lubang kedalaman 4 meter, gempa dari patahan Lembang diketahui terjadi berulang dalam kurun 400, 500, dan 700 tahun. Kejadian itu sudah 4 kali terjadi sebelum masa sekarang. "Aktivitas (gempa) terakhir itu 500 tahun lalu," ujarnya.
Dari hasil itu, Eko yakin patahan Lembang masih aktif. Karena itu, tim masih perlu mendapatkan tambahan data lagi dari lubang dengan kedalaman 30 meter. Lubang riset pun akan diperbanyak karena diduga, patahan Lembang juga bergerak terpotong-potong atau dalam segmen tertentu.
Temuan menarik lainnya, patahan itu juga memicu aktivitas perut Gunung Tangkuban Parahu. Selama ini, asumsinya terbalik. "Selama ini ternyata titik-titik pusat gempa di dekat patahan Lembang itu plotnya di sekitar Gunung Tangkuban Parahu," katanya. Fakta itu dikuatkan oleh riset tim geodesi Institut Teknologi Bandung yang dipimpin Sri Widiantoro.
Patahan Lembang, kata Eko, bergerak karena dorongan lempeng Indo Australia dari selatan dan tertahan lempeng Eurasia dari utara seperti halnya di Sumatera. Karena tak kuat menahan desakan, patahan itu akan melenting dan menimbulkan gempa.
Anggota tim riset dari teknik geodesi Institut Teknologi Bandung Irwan Meilano mengatakan, pergerakan sesar Lembang sepanjang 2-3 milimeter per tahun. Sangat kecil dan lambat, kata dia, dibanding pergerakan sesar di Sumatera dan Sulawesi yang bisa mencapai 3 sentimeter per tahun. "Kemungkinan gempa besar itu kecil terjadi dan potensi gempa lebih rendah dibanding Sumatra," katanya.
Namun begitu, Irwan dan Eko sama-sama khawatir karena jenis lapisan tanah di cekungan Bandung mirip di Yogyakarta. Akibatnya, dampak kerusakan setelah gempa dengan skala 6-7 bisa seburuk di Yogyakarta. "Implikasinya di daerah kota (Bandung) bisa jadi banyak merusak. Itu juga yang sedang kami teliti," katanya.
Efek gempa patahan Lembang, ujar Irwan, berpotensi menggoyang hingga radius 10 kilometer dari sumber gempa. Namun karena penelitian belum sempurna dan rinci, tim ITB belum berani membahas serius potensi gempa patahan Lembang dengan pemerintah daerah. "Masalahnya kita belum tahu detil struktur tanahnya," ujarnya.
ANWAR SISWADI
Patahan Lembang Masih Aktif Bergerak
BANDUNG, KOMPAS - Patahan Lembang yang terletak di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, aktif bergerak. Perhitungan oleh pakar geologi dari Institut Teknologi Bandung terkait pergerakan itu sebesar 2 milimeter per tahun. Masyarakat harus diberi pemahaman tentang risiko bencana dan upaya mitigasi.
Peneliti Irwan Meilano memasang sejumlah sensor yang dipantau lewat satelit di dua kelompok lokasi yang terbagi oleh patahan. ”Alat global positioning system yang terpasang menunjukkan bahwa ada pergerakan dengan rata-rata 2 milimeter per tahun. Ini menunjukkan bahwa Patahan Lembang tetap aktif bergerak,” kata Irwan, Jumat (25/3) di Bandung.
Irwan menyatakan, pergerakan dengan ukuran itu tergolong rendah.
Dosen Teknik Geologi ITB, Agus Handoyo Harsolumakso, mengatakan, belum banyak masyarakat yang mengetahui keaktifan Patahan Lembang. Gempa besar di patahan itu pun belum pernah tercatat secara ilmiah. ”Bukti-bukti keaktifannya masih terus diteliti,” kata Agus.
Pakar Geologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, yakin gempa bumi telah terjadi berulang kali. Ia menemukan tanah yang berlapis-lapis di lereng patahan, misalnya di Situ Umar. Lapisan tanah itu terjadi karena gempa bumi yang berulang kali.
”Pada kedalaman sekitar 150 sentimeter, ada perbedaan lapisan tanah di Situ Umar. Di bawahnya terdapat tanah dengan kontur lapisan yang cenderung tidak beraturan. Kontur semacam itu terjadi karena guncangan gempa. Kontur serupa ditemukan di lapisan tanah dengan kedalaman 3,5 meter,” kata Eko.
Berdasarkan perhitungannya, gempa terakhir di tempat itu terjadi sekitar 500 tahun lalu.
Bertolak dari itu, peneliti dari LIPI, Danny Hilman Natawidjaja, menyimpulkan, Patahan Lembang adalah patahan yang masih aktif. Salah satu kriterianya adalah bentuk riil yang bisa terlihat secara kasatmata saat ini. Selain itu, pola penumpukan lapisan tanah menunjukkan adanya pergerakan lempeng secara vertikal.
Keaktifan lempeng ini menunjukkan wilayah Lembang dan Kota Bandung rentan terhadap dampak gempa bumi. Kawasan patahan kini semakin padat penduduk. Terlebih lagi, Kota Bandung yang berjarak sekitar 15 kilometer arah selatan dari patahan itu berdiri di atas tanah dengan tingkat kematangan rendah.
”Kota Bandung adalah cekungan rendah dengan tingkat kematangan tanah yang paling muda dibandingkan area sekitarnya. Dari sisi geologi, Bandung tidak mantap,” ujar dosen Teknik Geologi ITB, Budi Brahmantyo.
Oleh karena itu, kesiapsiagaan masyarakat akan bencana gempa bumi harus segera disosialisasikan. Menurut Budi, salah satu aspek yang terlupakan adalah jalur evakuasi dan lokasi berkumpul yang aman jika terjadi gempa. (HEI)
0 komentar:
Posting Komentar